
Denpasar, Porosinformatif| Dalam dinamika penegakan hukum di Indonesia, peran advokat sebagai pilar keempat demokrasi kembali mendapat sorotan.
Salah satu sorotan tersebut tertuang dalam sebuah penelitian tesis yang mengkaji potensi kriminalisasi terhadap advokat berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Penelitian tersebut mengangkat persoalan frasa ambigu dalam Pasal 21 UU Tipikor, yakni “secara langsung atau tidak langsung” yang dianggap dapat membuka ruang multitafsir terhadap tindakan advokat saat menjalankan profesinya.
Frasa tersebut, menurut peneliti Rikhardus Ikun, S.H., M.H., seorang yudisiawan Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Dwijendra Denpasar dapat menimbulkan kekaburan norma dan berpotensi membatasi peran advokat dalam mendampingi klien, khususnya dalam perkara korupsi.
“Advokat seharusnya diberikan perlindungan hukum yang memadai selama bertindak atas dasar itikad baik demi membela kliennya. Namun, frasa multitafsir dalam UU Tipikor justru bisa menjadi alat represif jika tidak ditafsirkan secara proporsional,” ujarnya dalam latar belakang tesisnya.
Penelitian ini menyoroti beberapa kasus, termasuk perkara pengacara Fredrich Yunadi dan Stefanus Roy Rening, yang sempat menjadi kontroversi karena dituding melakukan obstruction of justice.
Padahal, menurut kajian tesisnya tersebut, pendampingan hukum adalah hak konstitusional setiap warga negara dan kewajiban profesional advokat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Selain menggugat potensi kriminalisasi terhadap advokat, tesis ini juga mengupas soal kewenangan advokat dan pentingnya batasan hukum yang tegas agar tidak terjadi penyimpangan dalam proses penegakan hukum.
Dengan menggunakan pendekatan normatif serta teori perlindungan hukum, kepastian hukum, dan kebijakan hukum pidana, peneliti menawarkan solusi berupa penafsiran hukum yang lebih sistematis, serta perlunya revisi atau penjelasan resmi atas pasal yang dianggap problematik tersebut.
Di tengah upaya negara memberantas korupsi secara tegas, tesis ini menjadi pengingat bahwa prinsip negara hukum harus tetap menjamin keadilan dan perlindungan terhadap semua pihak dalam sistem peradilan, termasuk para pembela hukum.
“Tanpa kepastian hukum, advokat dapat terjerat delik hanya karena menjalankan tugas. Ini berpotensi melemahkan fungsi kontrol dan akses keadilan bagi masyarakat,” tutur Rikhardus Ikun yang juga Ketua Lembaga Bantuan Hukum 351 Bali.
Tesis ini diharapkan menjadi referensi penting bagi akademisi, penegak hukum, dan pembuat kebijakan untuk lebih kritis dan adil dalam menafsirkan peran advokat dalam sistem hukum pidana, khususnya dalam perkara korupsi.***
#pengacaradibali #lawyerinbali #pengacaradicanggu #pengacaradidenpasar #pengacaraditabanan #advokatdibali #advokatdicanggu
https://stanistanjeandpartner.com/
