
Badung, Bali| Maraknya praktik penipuan jual beli mobil melalui media sosial, khususnya Facebook, patut menjadi perhatian serius masyarakat.
Salah satu modus yang paling sering terjadi adalah skema penipuan segitiga, di mana pelaku menipu baik penjual asli maupun calon pembeli dengan menyamar sebagai perantara palsu.
Penipuan skema segitiga ini melibatkan tiga pihak: penjual asli mobil, calon pembeli, dan pelaku penipuan. Modus dimulai saat pelaku menghubungi pemilik asli mobil yang mengiklankan kendaraannya, lalu berpura-pura menjadi pembeli serius.
Setelah mendapatkan foto dan data kendaraan, pelaku kemudian memasang kembali iklan mobil tersebut di akun media sosial lain dengan harga jauh lebih murah.
Guna meyakinkan calon korban, pelaku mengatur pertemuan antara calon pembeli dan pemilik asli mobil, seolah-olah ia adalah pihak yang menyatukan transaksi tersebut.
Namun, pelaku meyakinkan pembeli untuk mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya dengan dalih sebagai uang muka atau pelunasan.
Sayangnya, uang tersebut tidak pernah diserahkan kepada pemilik mobil. Setelah transaksi berlangsung, pelaku menghilang dan memblokir komunikasi dari kedua belah pihak.
Aspek Hukum: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Secara hukum, meskipun pelaku bertindak sebagai pihak ketiga, ia tidak dapat dikategorikan sebagai makelar karena tidak mendapatkan kuasa dari pemilik mobil untuk menjual barang.
Hal ini merujuk pada Pasal 62 dan 64 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang menyatakan bahwa makelar harus diangkat secara sah dan memiliki hubungan kuasa dari pemilik barang.
Adapun perjanjian jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata hanya sah apabila pihak penjual benar-benar memiliki barang dan memiliki kewenangan untuk menjualnya. Dalam skema penipuan ini, pelaku bertindak di luar otoritas hukum.
Jika transaksi tersebut dilakukan dengan dasar penipuan, maka perjanjian tidak memiliki kekuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 dan 1328 KUH Perdata. Perjanjian seperti itu dapat dibatalkan dan pelaku dapat diproses pidana.
Jerat Hukum: UU ITE dan KUHP
Karena penipuan ini dilakukan melalui media sosial dan melibatkan dokumen elektronik, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU ITE, yang mengatur penyebaran informasi menyesatkan dalam transaksi elektronik dan mengakibatkan kerugian materiil. Ancaman hukumannya maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp1 miliar.
Langkah Hukum bagi Korban
Korban dapat segera melaporkan kasus ini ke kepolisian setempat (Polsek, Polres, atau Polda) atau melalui Call Center 110.
Selain proses pidana, korban juga memiliki hak untuk menggugat secara perdata atas dasar perbuatan melawan hukum guna memperoleh ganti rugi atau melakukan permohonan restitusi.
Tips Mencegah Penipuan Skema Segitiga
Penipuan dengan skema segitiga bukan hanya merugikan secara materi, tetapi juga mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap transaksi online. Oleh karena itu, kewaspadaan dan kehati-hatian dalam bertransaksi adalah kunci utama untuk terhindar dari jerat penipuan.***
#lawyerinbali
#lawyerincanggu
#pengacaradibali
#pengacaradicanggu
https://stanistanjeandpartner.com/
